Tepatnya 10 tahun yang lalu aku memutuskan untuk bekerja setelah tamat
SMEA ke Batam. Keinginan orang tua agar aku kuliah terpaksa tidak aku lakukan.
Kenapa? Karena aku tak tega jika mereka harus banting tulang lebih keras lagi,
apalagi adik-adikku juga butuh biaya sekolah yang tidak sedikit.
Hari itu tiba saatnya aku telah diantar orang tua menuju pos
pemberangkatan. Meski teman-teman berkumpul dan saling bercerita tentang mimpi
yang akan mereka raih di Batam, tapi aku lebih suka duduk bersama kedua orang
tuaku. Hehe…masih anak mama banget, kerena aku ahu bahwa 2 tahun yang akan aku
lalui tidaklah sebentar. Jadi, kugunakan momen itu untuk selalu bertiga dengan
orangtuaku.
Sampai akhirnya mataku tertuju kesebuah tempat dimana ada seorang bapak dan anak yang sedang duduk
dilantai. Melihat mereka duduk pasrah dilantai membuat aku iba, lalu muncul
pertanyaan dalam hati tentang anak bapak itu, laki-laki apa perempuan sih?
Rambutnya yang keriting dipotong cepak, tak memakai anting-anting ditelinga,
memakai celana jeans hingga terlihat makin kurus, lalu sayup-sayup kudengar
logat bicara dan bahasa mereka yang tak aku mengerti. Dari mana sih?.
Lama sekali aku perhatikan gerak gerik bapak dan anak itu. Dari
pakaian, bahasa, dan kedekatan mereka. Meski aku bukanlah dari keluarga kaya,
tapi sepertinya aku lebih beruntung dari si anak itu. Ya Allah….menulis kisah
ini sungguh membuat aku ingin menangis.
Saat itu rasa iba yang tiba-tiba menyergap dikalahkan dikalahkan
dengan ketakutanku yang tidak jelas. Aku takut kalau nanti di Batam akan
sekamar dengan anak dari bapak itu. Alasannya apa? Hanya karena aku tak
mengerti gaya bahasa mereka. Huft sungguh alas an yang tidak jelas.
Jam terus berputar hingga saatnya kami berangkat menuju Batam melalui
jalur darat dan jalur laut. Sama sekali tak disangka, ternyata aku duduk
berdekatan dengan anak itu di bus. Dalam hati aku berdoa semoga kejadian ini
bukanlah pertanda aku akan sekamar dengannya ketika di Batam nanti. Bisa- bisa
aku eh oh eh oh nanti, asli logat bicara dan bahasanya tak aku mengerti.
Setiba di Batam mulailah pembagian penempatan dormitory, semacam asrama bagi pekerja. Dalam hati aku terus berdoa semoga tak sekamar dengan anak
itu. Tapi ketika teman-teman sedang bergembira karena 16 orang disatukan dalam
dormitory, saat itu pula aku ingin menangis karena ada dua nama yang disisipkan
ke dormitory dengan penghuni lama. Dua nama itu adalah aku dan anak itu. Ingin
protes tapi tak mungkin karana alas an yang nggak jelas. Ya sudahlah, akhirnya
aku terima keputusan itu dengan berat hati.
Hari-hari pertama dan berikutnya aku kerja keras untuk mngerti
bahasanya juga bahasa teman-teman sedormitoryku
yang lain. Karena ternyata mereka banyak yang berasal dari pulau jawa. Tapi
entah sebab apa kadang timbul rasa benci pada anak itu timbul dalam diri.
Kadang aku masih menyesalkan kenapa harus sekamar dengannya dan kenapa aku tak
bisa kumpul dengan teman-temanku yang dari satu sekolah.
Lama kelamaan aku mengerti tentang dia, tentang keluarganya, tentang
masa lalunya yang kelam, dan cita-cita kerjanya di Batam. Sungguh ternyata aku
lebih beruntung dari dia. Kami pun mulai akrab. Dia gadis yang baik, hatinya
baik, perilakunya juga baik. Sedikit demi sedikit aku mulai mneyukainya.
Hari terus berlalu hingga bulan pun juga berjalan. Tak kusangka dia
yang pertama kukenal sebagai gadis yang tomboy dengan rambut cepak dan celana
jeansnya, dibulan keenam ia berubah menjadi muslimah yang anggun. Sungguh itu
membuat aku salut padanya. Semangatnya untuk belajar agama membuat aku
terkagum-kagum pada gadis itu, hingga membuat aku untuk mengikuti jejaknya
menjadi muslimah yang anggun. Yah…kutinggalkan pula celana jeansku.
Sebut saja nama gadis itu Arsih. Kami berdua belajar agama bersama,
belanja dan memasak bersama, dan kemana-mana juga bersama. Hari-hari kulalui
sangat indah bersamanya. Sampai suatu hari ia mengajakku ke sebuah tempat,
rumah buliknya. Oh…beruntung sekali dia punya saudara di tempat rantauan
pikirku. Bisa dijadikan tempat refreshing jika penat dan lelah setelah bekerja.
Tapi, ternyata dugaanku salah. Ia ketempat buliknya karena ada keperluan lain, hampir
tiap bulan malah. Ada ada gerangan?.
Suatu saat aku merayunya untuk bercerita setelah kulihat Arsih murung
setiba dari rumah buliknya. Dan akhirnya ia bercerita bahwa selama ini ia
menyisihkan uang gajinya untuk dipinjamkan pada buliknya, bahkan hingga
beberapa juta. Hah? Aku kaget mendengarnya, karena yang aku tahu bulik Arsih
orang kaya, sedang Arsih punya cita-cita besar membahagiakan orangtuanya. Dan hari
itu Arsih murung karena gagal meminta uangnya kembali padahal ia sangat ingin
mengirimkan uang pada orangtuanya. Lama kelamaan Arsih mengikhlaskan uangnya
tak pernah kembali, padahal mengumpulkan uang sebanyak itu tak gampang karena
harus ekstra kerja keras untuk lembur. Arsih memang luar biasa.
Dua tahun akhirnya berlalu. Ketika kami hendak pulang kampung halaman,
kulihat ada seorang teknisi perusahaan kami yang sengaja mengantar kepulangan
Arsih. Kulihat sesekali teknisi itu menahan tangis ketika berbicara pada Arsih.
Teknisi itu bukan sedang jatuh cinta pada Arsih, tapi teknisi itu sangat merasa
bersalah padanya. Dulu ketika Arsih masih tomboy, ia dikerjai habis-habisan
sama teknisi itu didepan umum sampai-sampai Arsih menangis karena malu. Dan subhanallah….meski amat sangat malu,
tapi arsih sangat mudah memaafkan teknisi itu.
Arsih adalah muslimah yang luar biasa. Ia pulang membawa kemenangan
dan kebahagiaan hati yang tiada tara. Karena ia sangat disayangi dan selalu
dirindukan oleh banyak orang yang pernah mengenalnya, termasuk aku. Arsih…aku
menyayangimu. Setelah 8 tahun berpisah semoga dalam waktu dekat kita bisa
berjumpa.
Sidoarjo,
20 November 2010
Sebuah
kado untuk sahabatku tercinta yang entah kini ada dimana
Oleh : Mia Salsabila
Dikutip dari Buku : Para Guru
Kehidupan, Antologi Kisah Inspiratif
EmoticonEmoticon