Dia seumuran ibu saya. Saya tahu itu ketika
saya datang ke rumahnya dan wawancara. Dia Tanya untuk apa saya melamar kerja. Saya
jawab, “ karena saya ingin tahu bekerja itu seperti apa. Saya tidak cari
uangnya, jadi saya tidak masalah kamu gaji berapa”. Dia pun bercerita bahwa ada
2 orang lain lagi yang melamar perkerjaan ini. Sarunta ibu-ibu yang terlalu
cerewet, dan yang satu lagi laki-lakiyang terlalu tua. Dari tiga kandidat yang
ada, saya pilihan yang terbaik saat itu. Saya diterima, dengan gaji awal EUR 5
per jam. Dulu sekitar Rp.50.000,-.
Senang bukan main hati saya. Saya diterima
kerja!. Pekerjaan pertama yang saya lakukan secara professional, yang dibayar,
yang benar-benar bekerja! Saya mulai pada minggu depannya, banyak bertanya,
karena sebelumnya tak pernah bekerja. Tapi saya selalu mengerjakan tak separuh
hati, selalu terngiang-ngiang pesan Eyang saya yang pernah berkata “Kalau nyapu
itu semua, sampai di kolong-kolongnya, sampai depannya, bla bla bla…”. Josette
sampai heran melihat saya bersih bersih dengan semangatnya. Sampai dia
bertanya, saya katakan itu karena nasehat Eyang saya. Ia pun ikutan gembira.
Tempat tinggalnya tak terlalu besar. Cukuplah
untuk satu orang dan 2 kucing. Di lantai dasar tamu dengan satu sofa dan dua
kursi tamu, satu televise, dan satu piano. Ruang tamu tersebut langsung
berhubungan dangan dapur yang lengkap dengan lemari dapur, kulkas, dan kompor
gas. Meja makan cukup untuk berdua. Di lantai atas hanya ada kkmar mandi dan
kamarnya. Minimalis. Salah satu area yang saya suka dirumahnya adalah taman
belakang.
Di area yang tak begitu luas inilah saya
menimba babnyak pengalaman. Josette menanam bibit diusim semi, biasanya bulan
Mei. Dia akan mengajak saya membantu menyemai bibit, dan memindahakannya ke
dalam pot yang lebih besar ketika sudah tampak pertumbuhannya. Tiap kali saya
kerja, dia akan membuatkan makan siang untuk kami berdua. Memang awalnya tidak
begitu, namaun dia merasa saya nyaman diajak teman curhat, jadilah kami
menghabskan waktu makan siang untuk saling bertukar pikiran tentang apa saja. Dari
topic ringan tentang tanaman hingga topic berat seperti agama, dan tentang
keluarga saya.
Josette mengenang masa lalunya, hingga ia
berkata, “If my baby’s still alive, I
think se’ll be your age”. Saya hanya bisa terdiam dan terunyuh
mendengarnya. Ia menyesal. Sangat menyesal telah menggugurkan kandungan itu. Apalagi
jika ia tahu akan merasa kesepian di usianya yang tak lagi muda. Saya lalu
memandangnya dan mennjawab “ God sent me
to you with a reason. Maybe He want you not to feell lonely nymore”. saat
itulah saya merasa, ikatan emosional kami semakin kuat. Saya lalu memeluknya. Kami
berpelukan begitu lama sampai saya merasa Josette lah yang menjadi penggati ibu
saya di Belanda. Allah tak inginkan saya merasa kesepian, maka dikirmkanlah
Josette untuk saya.
Setelah hari itu berlalu, saya semakin bebas
mengekspresikan unek-unek saya disesi makan siang istirahat kerja saya. Saya lupa
kenapa tapi tiba-tiba saya membahas tentang ayah saya. Seorang yang tidak
begtiu saya kenal. Saya pun menceritakan kronologisnya. Orang tua saya bercerai
ketika saya berusia lima tahun, tak banyak kenangan yang dapat saya ingat
bersama ayah. Saya hanya mendengar berbagai cerita buruk tentang
perangainya.itulah mengapa ibu saya memutuskan untuk meninggalkan pernikahan
itu. Amatlah buruk tindak tanduknya hingga suatu saat Ibu saya membuang uang
pemberian sang Ayah untuk saya. Ibu tak sudi menerima sepeserpun darinya.
Penuh dengan emosi saya menceritakan
kebencian saya pada sang Ayah. Bahwa dia sama sekali tidak peduli pada saya. Jarang
menelepon, berkirim kabar. Saya sampia terbiasa tanpanya. Dilubuk hati saya
merindukannya, tapi percuma. Untuk apa dirindukan? Toh yang saya rindu tak
merasa hal yang sama. Semua kisah buruk tentangnya makin mempertebal rasa benci
itu. Semua kemarahan saya bisa saya tumpahkan ketika bercerita dengan Josette. Diiringi
isak tangis saya menceritakannya dan Josette dengan sabar mendengar setiap kata
yang saya ucap. Tak ada yang dikatakannya, ia hanya tersenyum sabar dan empatik.
Sebelumnya tak pernah saya ucapkan semua hal
pada orang lain, bahkan pada ibu saya sekalipun. Bahwa sebenarnya saya
merindukan sosok seorang ayah, walaupun
saya sudah mempunyai ayah tiri. Tapi tetap, bagi saya, mengenal ayah kandung
adalah hal yang istimewa. Masih ingat bahwa dulu saya sering iri ketika
teman-teman saya sekolah dijemput Ayah atau Ibunya. Ibu saya selalu mengajarkan
bahwa Ayah saya ”bekerja diluar kota”, jika ada yang bertanya “Ayah mu kemana?”.
Saya tak habis piker mengapa saya harus
berbohong. Mengapa kata “cerai” dianggap ibu tabu. Mengapa lingkungan masih
menganggap bahwa anak :broken home” akan
menjadi anak berandalan dan tak berprestasi? Saya dididik dengan keras oleh
Eyang. Seering saya dimarahi karena sungguh Eyang saying mengangap saya seerti
anak bungsunya. Sayapun diminta untuk berprestasi, karena hanya dengan
prestasilah seorang akan naik derajatnya.
Ibu mengarahkan saya untuk masuk SMP dan SMA
favorit, saya berhasil menjadi salah satu duta bangsa ktika berusia 16 tahun,
sayapun kuliah diluar negeri. Maka saya tak malu pada status “cerai”. Mata saya
sudah terbuka saat saya melihat kenyataan bahwa memang harus berakhir begini. Bahwa
inilah keputusan Allah yang terbaik untuk kami. Tapi kerinduan dan kebencian
masih tebal.
Sehingga sesi curhat tentang ayahpun tak
hanya berhenti sampai disitu. Hampir beberapa
kali makan siang kami masih membahas kebencia saya pada sang Ayah. Josette
berkata bahwa beberapa temannya mengalami hal yang sama. Tapi ia percaya, ada
hal yang lebih besar dari kebencian. Cinta.
Cinta itulah yang membuat saya saya membenci
Ayah. Cinta itulah yang membuat saya masih bercerit kepada Josette untuk
membuka kunci hati keikhlasan saya. Cinta itulah yang saya tak pernah saya
rasakan dan saya merindukannya. Cinta, bukan benci.
Dia menyadarkan saya bahawa sesungguhnya saya
saya benar benar mencintai Ayah. Diluar memang keegoisan dan kesombonan saya
berkata bahwa saya tak butuh dia. Topeng itulah yang membuat sata tak
mengikhlaskan kepergiannya terlalu cepat. Saya terisak bukan main. Saya menyesal
bukan main. Saya merasa telah berdosa telah membenci orangtua saying seharusnya
saya hormati. Saya mendoakan dia, tapi jarang saya berdoa sungguh-sungguh agar
taubat kembali kejalanNya. Jarang saying saya benar-benar bersimpuh dan memohon
agar Allah menjadikan hidupnya lebih indah dari sbelumnya. Saya orang beragama,
tapi ego saya lebih besar dari Fir’aun. Saya berlinang air mata.
Seorang yang tak pernah saya kenal
sebelumnya, dengan sabar mendengarkan dan menganalisa saya. Menuntun saya
menuju akar permasalahan kebencian. Mengatakan bahwa sebenarnya kita semua
berkisah dengan cerita terindah. Untuk mendapatkan pelajaran dari semua. Bahwa batas
antara benci dan cinta terlalu tipis untuk dibedakan.
Saya merindukan saat-saat makan siang
bersamanya. Entah kapan lagi saya diberi kesempatan bertemu dengan nya. Saya bekerja
padanya hamper 4 tahun, sampai akhirnya saya pun memutuskan pulang kembali ke
Indonesia.
Saya mungkin meninggalkan kesan hebat dalam
hatinya, tapi sungguh Josette sangat luar biasa. Kekuatan seorang Ibu tanpa
anak kandung yang mampu membalik rasa benci menjadi cinta. Terima kasih
Josette. Betse wensen van mij en mijn
familie.
Cerita Dari : Herlyanti
Di kutip dari Buku Para Guru Kehidupan. Antologi Kisah Inspiratif.
EmoticonEmoticon