Elegi Pak Sahir, Sapu, dan Keikhlasan


Elegi Pak Sahir, Sapu, dan Keikhlasan

Lelaki tua itu bernama Pak Sahir.

Sudah bertahun-tahun lamanya bekerja sebagai tukang sapu digedung Aisyah-Khodijah-Kuwait, salah satu komplek bangunan di sebuah Pasantren Khusus Putri tempatke belajar. Aku mengenalnya sekitar enam tahun lalu, saat aku masih duduk dibangku kelas satu KMI (Kulliyatul Mu’allimat Al- Islamiyah), setara kelas satu SMP disekolah-sekolah kebanyakan…Aku mengenalnya ketika tanpa sengaja meminjam sapu tuanya pada suatu hari, bertahun-tahun lalu, untuk piket kelas. Sapu-sapu milik kelas kami hilang secara beruntun. Dan tidak ketahuan kemana rimbanya hingga berminggu-minggu kemudian.

“Pak, Pak…saya pinjam sapunya ya!” ujarku setengah memaksa, mengingat sebentar lagi bel berdentang dan Ustadzah  KMI akan berkeliling ke tiap-tiap kelas.

Pak Sahir mendongak. Peluh bercucuran di pelipis dan kepalanya yang botak. Kaus bertuliskan “Pekerja Pesantren Putri Modern” yang ia kenakan basah kuyup oleh keringat.

“Ya. Pak, ya…., ntar saya kena Ustadzah KMI nih…” pintaku lagi. Pak Sahir tersenyum kemudian beliau mengangguk mengiyakan. Dibiarkannya aku menyapu kelas dengan terburu-buru menggunakan sapunya. Ia duduk diberanda kelas, seraya sesekali mengipas-ngipas topinya.
Dan sejak itulah hamper setiap hari aku meminjam sapu beliau, bertepatan hari Selasa, saat jadwal piket kelompokku. Hari Selasa pagi memang super sibuk. Dan itu tentu berdampak bagi mereka yang kedapatan piket kelas hari itu, seperti aku. Olah raga pagi yang biasanya baru kelar pukul enam lewat, ditambah antrian mandi yang panjangnya sampai bel persiapan berbunyi.

Dan memang, Pak Sahir pasti selalu muncul setiap pagi. Lengkap dengan sapun dan senyuman khas beliau. Lalu dengan sigap menyapu dengan cermat. Seolah tidak ingin membiarkan setitik debu pun tertinggal di lantai. Dalam sekejap, keringat mulai bercucuran pada wajah yang mulai keriput. Punggungnya membungkuk saat menyapu. Pelan tapi pasti, ia dengan segala kehati-hatian menyeret kaki beralas sandal karet berwarna kunig cerah, melangkah dengan ikhlas. Demi rezeki dan keridhaan-Nya. Setiap hari, bertahun tahun. Sampai detik ini.

Lalu, beberapa tahun silam. Saat aku berada di kelas lima dan menjadi pengurus OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern) bagian Diskusi Ilmiah dan Penerbitan. Kami ketika itu sedang sibuk mempersiapkan Cakrawala-majalah khusus Pesantren Putri- perdana kami. Segenap tenaga dan pikiran terpusat sepenuhnya. Mencari-cari bahan tulisan, wawancara sana-sini, foto-foto, dan sebagainya. Aku tengah melamun di dalam kelas, berpikir keras mengenai ide baru dalam majalah Cakrawala yang belum ada sebelumnya. Aku menerawang ketika tiba-tiba mataku terpaku pada sesosok bapak yang  sedang asyik menyapu di lantai atas gedung Kuwait. Seketika mataku berbinar. Pak sahir! Sorakku dalam hati. Mengapa kami tidak wawancara dia saja!.

Sekalia lagi aku bersorak. Teman-teman menyetuui dan jadilah kami siang itu bergerak menuju gedung Kuwait, tempat di mana biasanya Pak Sahir duduk beristirahat. Kami sampai dan disana Pak Sahir sedang dan masih asyik menyapu.

“Assalamu’alaikum, Pak Sahir……” sapa kami serentak.
“Yaa…Wa’alaikum Salam…..,” beliau dan tawa khasnya menyambut. Setangah kaget.
“Pak…., mau ngobrol, sebentaaaar saja, boleh?”
“Ya, ya, ya…boleh….boleh….sebentar, saya nyapu dulu,”

Ah, percakapan yang asyik siang itu. Kami mengobrol banyak. Beliau bercerita tenyang masa kecilnya, pada zaman pendudukan Jepang. Kehidupannya yang sederhana, keluarganya, dan anak laki-laki yang sangat iya banggakan sebagai Brimob. Mata beliau bersinar, ada kerinduan dan rasa syukur disana. Saat kami menanyakan alasan beliau bekerja di Pondok. Beliau menjawab, singkat, polos, dan tenang, “Saya tuh mau mbantu  pondok…..” tentu saja disertai senyum lebar khas beliau, memperlihatkan beberapa gigi yang sudah tanggal. Sungguh, detik itu aku terenyuh. Hatiku tersentuh begitu dalam. Beliau hanya ingin beribadah. Dan mewujudkannya dengan membantu Pondok, membersihkan sampah-sampah makanan dari kelas-kelas. Menjaganya tetap bersih. Sebisa mungkin agar para santriwati nyaman belajar.

Aku di kelas enam ketika kelasku berada digedung Aisyah. Dan setiap pagi aku melihat beliau muncul lengkap dengan sapu dan topi biru yang bertengger di kepala. Dan setiap pagi pula aku berteriak memanggil nama beliau seraya mengucap salam. Tangan ku melambai-lambai. Yang kudapatkan tak berbeda jauh dari sebelumnya. Jawaban salam beliau disertai taw khas yang lebar. Tersirat keikhlasan di kedua bola matanya. Selalu, aku memintanya mendo’akan kami agar lulus ujian. Beliau mengaminkan dengan kepala terangguk beberapa kali.

Dan kejadian disuatu siang yang membuatku sangat ingin menulis  kisah ini. Ketika tiba-tiba aku tergerak untuk sekedar mengingat dan mengenang beliau. Serta ingatan uang terus membekas dalam benakku. Masa dimana saat-saat sekolah sudah berlalu. Dan aku dengan status yang baru, sebagai seorang Ustadzah. Masa pengabdian di Pondok Pesantren setelah selama enam tahun mengenyam pendidikan  di sana. Sudah menjadi kebijakan Pesantren untuk mengabdi bagi para alumninya. Mengamalkan ilmu yang telah diajarkan. Sebagai salah satu amal saleh yang menjadi tabungan akhirat.

Bemula saat aku hendak mengajar pada jam terakhir. Aku mengayuh sepeda ku cepat-cepat. Bel sudah berdentang beberapa saat yang lalu. Disana kulihat beliau, disamping Taman Firdaus, sedang berjalan pelan. Topi tuanya masih sama dengan yang dulu-dulu. Begitu juga sandal karet kuningnya. Yang berbeda adalah kaus pekerja yang telah berganti dengan kaus berwarna oranye cerah. Aku mengernyit heran. Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas siang.

“Mau ke mana, Pak Sahir?” tanyaku sembari memelankan kayuhan sepeda. Beliau menoleh, serta merta tersenyum lebar dan berceletuk, “ Mau ke Masjid, nunggu shalat Dzuhur…yuk, neng!”
Mendengarnya hatiku semakin terenyuh. Penuh haru. Ada Kristal dikedua bola mataku. Semoga Allah membalas kebaikan dan keikhlasanmu, Pak Sahir. Do’a ku dalam hati.

Cerita Dari : Nadia Sarah Adzani
Di kutip dari Buku Para Guru Kehidupan. Antologi Kisah Inspiratif.
Previous
Next Post »
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Sekedar Ngeblog